Sunday, February 27, 2022

Kronologi & Penyebab Mengapa Rusia Menyerang Ukraina

 

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia akhirnya benar-benar menyerang Ukraina. Presiden Vladimir Putin mengumumkan operasi militer secara resmi Kamis (24/2/2022).

 

Serangan Rusia kemudian dimulai dengan ledakan di sejumlah kota di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv dan Mariupol. Hingga saat ini ketegangan masih berlangsung.

 

Sebenarnya, dulu Ukraina "rapat" dengan Rusia. Namun pemimpin Ukraina yang sekarang lebih dekat ke Barat dan ingin menjadi bagian NATO.

 

Padahal ketika Perang Dingin terjadi, sebelum 1990, orang-orang Ukraina dan Rusia bersatu dalam sebuah negara federasi bernama Uni Soviet. Negara komunis yang kuat di zaman itu.

 

Uni Soviet setelah Jerman kalah dan PD II selesai, memiliki pengaruh di belahan timur Eropa. Tak heran jika negara-negara di benua Eropa bagian timur juga menjadi negara-negara komunis.

 

Pada 1991, Uni Soviet dan Pakta Warsawa bubar. Di tahun yang sama, Ukraina memberikan suara untuk memerdekakan diri dari Uni Soviet dalam sebuah referendum.

 

Presiden Rusia Boris Yeltsin pada tahun itu, menyetujui hal tersebut. Selanjutnya Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS).

 

Namun perpecahan terjadi. Ukraina menganggap bahwa CIS adalah upaya Rusia untuk mengendalikan negara-negara di bawah Kekaisaran Rusia dan Uni Soviet.

 

Pada Mei 1997, Rusia dan Ukraina menandatangani perjanjian persahabatan. Hal tersebut adalah upaya untuk menyelesaikan ketidaksepakatan.

 

Rusia diizinkan untuk mempertahankan kepemilikan mayoritas kapal di armada Laut Hitam yang berbasis di Krimea Ukraina. Rusia pun harus membayar Ukraina biaya sewa karena menggunakan Pelabuhan Sevastopol.

 

Hubungan Rusia dan Ukraina memanas lagi sejak 2014. Kala itu muncul revolusi menentang supremasi Rusia.

 

Massa antipemerintah berhasil melengserkan mantan presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych. Kerusuhan bahkan sempat terjadi sebelum berdamai di 2015 dengan kesepakatan Minsk.

 

Revolusi juga membuka keinginan Ukraina bergabung dengan Uni Eropa (UE) dan NATO. Ini, mengutip Al-Jazeera, membuat Putin marah karena prospek berdirinya pangkalan NATO di sebelah perbatasannya.

 

Hal ini juga didukung makin eratnya hubungan sejumlah negara Eropa Timur dengan NATO. Sebut saja Polandia dan negara-negara Balkan.

 

Saat Yanukovych jatuh, Rusia menggunakan kekosongan kekuasaan untuk mencaplok Krimea di 2014. Rusia juga mendukung separatis di Ukraina timur, yakni Donetsk dan Luhansk, untuk menentang pemerintah Ukraina.

Mulai Panas sejak Akhir 2021

 

Isu serangan bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina.

 

Moskow diyakini Barat memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya. Intelijen Barat menyebut Rusia akan menyerang Ukraina.

Di Desember, pemimpin dunia seperti Presiden AS Joe Biden memperingatkan Rusia tentang sanksi ekonomi Barat jika menyerang Ukraina karena laporan yang semakin intens soal militer di perbatasan. Sejumlah pemimpin Eropa seperti Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan juga "turun gunung" menginisiasi negosiasi antara keduanya.

 

Di sisi lain, Rusia juga mulai melakukan latihan militer besar-besaran sejak awal Januari 2022. Semua angkatan laut dikerahkan. Latihan ini juga dilakukan di darat. Rusia bekerja sama dengan Belarusia, tetangga dekat sekaligus sekutunya.

Rusia membantah akan menyerang kala itu. Namun, negeri Putin mengajukan tuntutan keamanan yang terperinci kepada Barat.

 

Salah satu poinnya meminta NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina. Rusia meminta aliansi tersebut untuk tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara bekas Soviet lainnya sebagai anggota.

 

Dalam wawancara esklusif dengan CNBC Indonesia 16 Februari, Duta Besar Rusia Untuk Indonesia, Lyudmila Georgievna Vorobieva, mengatakan Rusia tidak pernah berniat menyerang tetangganya itu. Ia menyebut isu ini muncul setelah dihembuskan AS, NATO dan para aliansinya.

 

"Semua histeria yang terjadi antara Rusia dan Ukraina telah ditargetkan untuk mengalihkan isu dari keamanan negara kami terkait Federasi Rusia. Kami melihat ekspansi NATO yang telah berjalan selama 30 tahun lebih dan kini infrastruktur NATO makin dekat ke perbatasan kami," jelasnya dalam wawancara kala itu.

 

"Pada situasi ini, Ukraina hanya dijadikan alat untuk mengobarkan informasi perang terhadap Rusia. Sementara negara kami tengah mengupayakan diplomasi, pihak Barat terus mengobarkan informasi perang dan menciptakan ketegangan di perbatasan Rusia-Ukraina."

 

"Sebenarnya tidak ada yang terjadi dan kami tidak berniat untuk menyatakan perang terhadap Ukraina. Tolong jangan salah paham kami justru menganggap Ukraina sebagai saudara kami," ujarnya lagi.

 

"Memerangi Ukraina adalah gagasan yang tidak masuk akal bagi kami."

 

Ia membeberkan NATO telah melakukan lima fase ekspansi, dari tahun 1999 hingga 2020.

 

Putin yang Tak Tepat Janji

 

Pada 15 Februari, Putin menegaskan akan menarik semua pasukan dari perbatasan. Ia mengatakan ini saat konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Moskow, Rusia.

 

Putin mengatakan, Rusia tidak menginginkan perang. Menurut dia, Rusia siap mencari solusi dengan Barat.

"Kami siap untuk bekerja sama lebih jauh. Kami siap untuk masuk ke jalur negosiasi," ujar Putin seperti dilansir AFP kala itu.

 

Meski begitu, negara Barat meragukan hal ini. Bahkan intelijen NATO di Eropa Timur menyebut Rusia mungkin tetap akan menyerang meski terbatas, dengan menggunakan wilayah pemberontak Ukraina Timur.

 

Senin lalu, Putin tiba-tiba mengumumkan Donetsk (DPR) dan Luhansk (LRP), dua wilayah kontra pemerintah Ukraina, sebagai negara merdeka. Dengan alasan "menjaga perdamaian", Putin menandatangani dekrit mengirim pasukan ke Ukraina.

 

Kamis (24/2/2022), pernyataan Putin di depan Olaf tak terealisasi. Serangan benar dilakukan.

 

Putin mengumumkan operasi militer di Ukraina demi membela separatis di timur negeri itu. Ledakan terjadi di sejumlah kota di Ukraina termasuk Kyiv.

 

"Keadaan mengharuskan kami untuk mengambil tindakan tegas dan segera," kata Putin, dalam pidato yang disiarkan televisi, menurut transkrip RIA-Novosti.

 

"Donbass (wilayah milisi pro Rusia di Ukraina timur) meminta bantuan kepada Rusia. Dalam hal ini, sesuai dengan Pasal 51, bagian 7 Piagam PBB, dengan sanksi Dewan Federasi dan sesuai dengan perjanjian persahabatan yang diratifikasi oleh Federal Musyawarah dan gotong royong dengan DPR dan LPR, saya putuskan untuk melakukan operasi militer khusus," tambahnya.

 

Barat mengutuk tindakan Putin. Sejumlah negara bereaksi.

 

"Rusia memulai serangan ke Ukraina hari ini. Putin memulai perang melawan Ukraina, melawan seluruh dunia demokrasi. Dia ingin menghancurkan negara saya, negara kita, semua yang telah kita bangun, semua yang kita jalani," kata Presiden Ukraina Zelensky.

 

Mengapa Menyerang Ukraina?

 

Para ahli percaya Putin melakukan ini untuk tujuan memaksa perubahan di Ukraina. Rusia, ingin kepemimpinan Ukraina diganti menjadi pro Moskow.

 

"Berdasarkan pidato Putin ... Rusia melancarkan serangan besar di seluruh Ukraina dan bertujuan untuk menggulingkan pemerintah Kyiv melalui cara militer," kata Direktur Penelitian makro global di Eurasia Group, Henry Rome, dikutip CNBC International.

 

"Meskipun Putin mengklaim sebaliknya, kemungkinan ini akan mencakup pendudukan beberapa wilayah oleh pasukan Rusia."

 

Dikutip dari CNN International, dalam sebuah essai panjang yang dimuat Putin di Juli 2021, ia sempat menyebut Rusia dan Ukraina adalah "satu orang".

 

"Barat telah merusak Ukraina dan menariknya keluar dari orbit Rusia melalui perubahan identitas yang dipaksakan," tulis media itu menggambarkan tulisan Putin.

 

Dalam pertemuan dengan media yang dihadiri CNBC Indonesia pekan lalu, seorang pejabat senior Kedutaan Besar AS di Jakarta mengatakan pelanggaran terang-terangan Rusia terhadap hukum internasional menjadi tantangan langsung terhadap tatanan berbasis aturan internasional. Ukraina sendiri merupakan anggota PBB, yang artinya negara merdeka dan berdaulat.

 

"Jika Rusia diizinkan untuk membatasi kedaulatan Ukraina dengan mendikte aliansi Ukraina dan pilihan kebijakan luar negeri, dengan memerasnya dan melanggar integritas teritorialnya, itu dapat memberanikan orang lain yang ingin memperluas klaim teritorial ilegal termasuk di Laut China Selatan (LCS)," katanya.

 

"Merusak prinsip-prinsip tatanan berbasis aturan internasional melemahkan fondasi kerja sama internasional dan pelanggaran Rusia mengancam perdamaian dan stabilitas di benua Eropa."

 

 

 

No comments:

Post a Comment