Indonesia telah menyetujui pembelian 42 jet tempur generasi 4.5 Rafale asal Perancis melalui penandatanganan nota kesepahaman kerja sama pertahanan. Progres awal pengadaan jet tempur pabrikan Dassault Avation itu dengan mengakuisisi enam unit pada kontrak perdana. Sementara, 36 unit lainnya diklaim akan segera menyusul dalam waktu dekat. "Kita akan mengakuisisi 42 pesawat Rafale. Mulai hari ini kontrak pertama untuk enam pesawat, yang akan disusul dalam waktu dekat untuk 36 pesawat dengan dukungan latihan persenjataan dan simulator yang dibutuhkan," kata Menteri Pertahanan Prabowo Subianto usai menyaksikan penandatanganan kontrak bersama Menhan Perancis Florence Parly di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis (10/2/2022). Baca juga: Pindad Bakal Produksi Badan dan Isi Bahan Peledak Bom MK-82 Jet Tempur Rafale TNI AU Rafale dikenal sebagai pesawat serba bisa karena dapat digunakan untuk berbagai misi. Misalnya, interdiction (larangan), aerial reconnaissance (pengintaian udara), ground support (dukungan darat), anti-ship strike (serangan antikapal) dan nuclear deterrence mission (misi pencegahan nuklir).
Pesawat yang muncul pertama kali pada 2001 itu hingga kini sudah digunakan oleh sejumlah negara. Antara lain, Qatar, Yunani, India, Uni Emirat Arab, Kroasia, dan Mesir. Kendati sudah meneken kontrak, nyatanya Indonesia mesti bersabar untuk bisa menyusul negara lain yang sudah lebih dulu mengoperasikan Rafale. Sebab, enam pesawat dalam kontrak perdana baru akan dikirim pada 56 bulan ke depan pasca-aktifnya penandatangan kontrak. “Prosesnya memang panjang. Artinya ketika Prabowo sudah tidak menjadi menteri pertahanan, pesawat ini sudah menjadi kekuatan pertahanan kita,” ujar juru bicara Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, Jumat (11/2/2022). Di sisi lain, pengadaan pesawat bermesin ganda dari Snecma ini merupakan upaya Indonesia membangun kekuatan pertahanan udara. Baca juga: Prajurit TNI AU Calon Penerbang Jet Rafale Bakal Latihan di Perancis Pembelian pesawat ini juga bersifat mendesak.
Mengingat, kondisi kesiapan pesawat tempur Indonesia mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu masalah yang paling mencolok yaitu usia pesawat tempur yang sudah berumur. Beberapa pesawat yang mulai menua meliputi F5 Tiger, Hawk 100 dan 200. Sekretaris Jenderal Kemenhan Marsdya Donny Ermawan Taufano menyebut bahwa Indonesia saat ini hanya mengandalkan 33 pesawat F-16 yang sudah berusia lebih dari 30 tahun. Sementara, 16 pesawat tempur Sukhoi Su 27 dan Su 30 berusia hampir 20 tahun. "Dengan kondisi demikian menjadi kewajiban Kementerian Pertahanan untuk merencanakan pesawat tempur yang akan bertugas di tahun 2030 dan 2040-an," kata Donny dalam webinar 'Menyongsong Pesawat Rafale', Kamis (17/2/20220). Berdasarkan data Global Fire Power (GFP) pada 2022, Indonesia disebut mempunyai alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk kekuatan udara sebanyak 445 unit.
Mulai dari helikopter serang 15 unit, helikopter 172 unit, hingga pesawat tempur 41 unit. Peneliti senior Marapi Consulting and Advisory Beni Sukadis menilai, jumlah pesawat tempur yang ada saat ini tidak cukup untuk menjaga wilayah pertahanan udara nasional. Dengan pembagian tiga wilayah zonasi pertahanan, yakni barat, tengah, dan timur, idealnya Indonesia memiliki 8 hingga 10 skadron pesawat tempur atau lebih dari 100 unit pesawat tempur. Namun demikian, ia memahami bahwa untuk mewujudkan jumlah skadron yang ideal memerlukan anggaran besar. “Dengan keterbatasan anggaran negara memang hanya bisa diwujudkan dalam waktu jangka panjang yakni 25 tahun mendatang,” katanya.
Tepat waktu Sementara itu, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Chappy Hakim menilai, pembelian 42 jet tempur pabrikan Dassault Aviation tersebut dilakukan di waktu yang tepat. Menurutnya, pembelian jet tempur generasi 4.5 ini tepat lantaran perusahaan pesawat tempur di dunia saat ini tengah gencar melakukan cuci gudang. "Sekarang adalah saat yang tepat untuk membeli pesawat fighter jet aircraft. Seluruh pabrik pesawat terbang tempur di permukaan bumi ini memang tengah cuci gudang alias menjual obral produknya," ujar Chappy.
Alutsista TNI AU Sudah Terlalu Tua Chappy menyebutkan, dalam dua dekade terakhir, para perancang atau pabrik pesawat tempur canggih saat ini dalam dua pilihan, terus mengembangkan pesawat tempur atau beralih ke wahana baru bernama drone atau pesawat tanpa awak. Di sisi lain, Chappy mengatakan, pembelian 42 jet Rafale merupakan sebuah rekor Indonesia dalam mendatangkan pesawat tempur dari luar negeri. "Proses pembelian sekaligus jumlah 42 jet tempur canggih dapat dikatakan memecahkan rekor jumlah pembelian pesawat terbang tempur sepanjang sejarah Indonesia pasca 1965," ungkap Chappy. Sejalan dengan pembelian itu, Chappy menggarisbawahi bahwa keberadaan pesawat tempur merupakan salah satu subsistem dari sistem pertahanan udara yang menjadi bagian dari integral sistem pertahanan negara. Dengan demikian, kata dia, proses pengadaan pesawat tempur pada hakikatnya sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional.
Dalam hal ini unsur pesawat terbang tempur sekali lagi hanya merupakan salah satu saja dari sub-sub sistem pertahanan udara nasional lainnya," tegas dia. Di sisi lain, kerja sama pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI menunjukkan kawasan Indo-Pasifik mempunyai nilai strategis dalam dinamika geopolitik di masa mendatang. Alhasil, negara blok Barat yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis ingin terlibat dalam pusaran dinamika geopolitik kawasan. Baca juga: Apa Urgensi Pemerintah Borong 42 Jet Rafale? Chappy Hakim Menduga 2 Hal Ini Apalagi suhu politik di kawasan Indo-Pasifik memang menghangat salah satunya akibat sengketa wilayah Laut China Selatan antara China dengan Vietnam, Malaysia, Filipina, Taiwan dan Brunei Darussalam. Indonesia pun mempunyai wilayah yang berbatasan dengan Laut China Selatan, yaitu Laut Natuna Utara. Di kawasan itu juga sempat terjadi ketegangan karena kerap kali aparat keamanan seperti TNI Angkatan Laut memergoki aktivitas kapal nelayan China. “Dengan demikian, rencana pengadaan ini memang tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika lingkungan strategis kawasan. Dan Indonesia dinilai sebagai salah satu mitra strategis negara tersebut untuk dapat berkiprah di kawasan," kata pengamat pertahanan Anton Aliabbas, Senin (14/2/2022).
Siapkan calon penerbang Meski pengiriman Rafale masih lama, TNI AU sudah mulai ancang-ancang menyiapkan calon penerbang bagi jet yang mempunyai kemampuan bermanuver gerak menanjak tajam tersebut. “Kita menyiapkan beberapa penerbang tetapi kita belum tentukan jumlahnya,” kata KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo di Mabesau, Jakarta, Jumat (4/3/2022). Fadjar mengatakan, penyiapan calon penerbang ini juga sudah termasuk dengan penentuan kriteria yang akan direkrut. Ia memastikan, TNI AU akan menunjuk prajurit yang memang dianggap layak menunggangi Rafale. Nantinya, para calon penerbang Rafale akan menjalani latihan di Perancis, negara produsen Rafale. Selain di Perancis, latihan ini juga akan dilaksanakan di dalam negeri. “Latihannya sendiri kita akan dilaksanakan di Perancis dan di dalam negeri,” imbuh dia. Tak hanya platform generasi terbaru Di kesempatan lain, Fadjar mengungkapkan, TNI AU perlu mengakuisisi tak hanya platform generasi terbaru dalam menghadapi ancaman peperangan generasi kelima. Menurut Fadjar, keperluan tersebut bertujuan agar Indonesia mampu menciptakan kekuatan udara nasional yang mampu menghadapi tantangan peperangan generasi kelima. “Untuk itu, TNI Angkatan Udara benar-benar harus melaksanakan transformasi dengan melakukan investasi jangka panjang pada sektor teknologi dan intelektualitas sumber daya manusia yang dimiliki,” kata Fadjar pada seminar memperingati HUT ke-76 TNI AU di Halim Perdanakusuma, Jakarta, Rabu (30/3/2022). Fadjar mengatakan, peperangan generasi kelima lebih banyak bertumpu pada aksi kekuatan non-kinetik atau tanpa mengandalkan senjata konvensional. Misalnya, disrupsi energi, sosial, dan ekonomi, hingga disinformasi.
Menghadapi potensi ancaman tersebut, Fadjar menuturkan, TNI AU perlu mulai mengambil langkah antisipatif dalam menghadapi peperangan generasi kelima. Dengan demikian, pengadaan platform generasi terbaru, termasuk Rafale pun diharapkan dapat menjadi bagian dari langkah antisipasi menghadapi peperangan generasi terbaru. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto menyebut bahwa pembelian pesawat generasi 4.5 juga perlu menggarisbawahi mengenai ADIS atau zona wilayah pertahanan udara. “Tanpa memikirkan ADIS, kita akan memperlakukannya sebagai pesawat generasi ketiga,” terang dia.
Sumber Kompas dan berbagai sumber
No comments:
Post a Comment